100 Tahun Kampusku
Pagi ini, 3 Juli 2020 sekitar pukul tujuh, datang pemikiran antah-berantah yg muncul di kepalanya, "Mas, aku mau coba daftar di Jakarta." Ternyata PPDB DKI yg menggunakan portal siap-online masih dibuka hari ini. Dan ditutup sore ini juga, pukul 15.00.
Berbeda dengan sistem PPDB di Jawa Barat. Timeline untuk pengajuan, verifikasi, dan aktivasi akun dilakukan lebih dulu. Setelah beres, baru dibuka seleksi online, tidak ada lagi yang dapat mengajukan akun. Di DKI, pembuatan akun masih dapat dilakukan bahkan sampai menjelang waktu akhir seleksi online.
Setelah beberapa bulan belakangan, banyak perubahan yang kuamati pada dirinya. Menjadi lebih dewasa, lebih bijak, giat, rajin belajar, banyak mengaji, puasa sunnah, dan riang. Les sudah ditekuni jauh hari sebelum jadwal ujian nasional yang ternyata tidak jadi diadakan karena terdampak covid19. Aku tak tau bagaimana perasaannya mendengar kabar itu.
Sejak lama, ia ingin bersekolah di sma nomor 1 di Kota Bekasi, Smansasi. Dihantui kebijakan sistem zonasi, berharap-harap cemas semoga masih ada peluang. Ia coba daftar jalur anak guru yang besar kuotanya hanya 2,5% dari seluruh siswa yang diterima, kurang lebih 10 orang. Bukan rejeki, rumah kami lebih dari 3 km dari sekolah. Jarak menjadi pertimbangan utama. Tahap satu pupus sudah. Aku tau hari itu hari pengumuman, tapi aku tak bertanya hasilnya setelah melihat raut wajahnya. Sepanjang sore ia mengurung diri di kamar memandangi layar laptop.
Tak butuh waktu lama, aura riangnya mengalahkan kesedihannya. Ia berencana mendaftar di sma nomor 1 di kecamatannya, Tambun Utara. Meskipun belum waktu pengumuman, kami sudah tau hasilnya. Mudah saja, dengan mengolah data di website, kami coba mengurutkan pendaftar berdasarkan jarak rumah ke sekolah. Aku yang menyarankannya. Setidaknya mentalnya sudah siap sebelum pengumuman dan bisa menyiapkan cadangan sekolah lain jika masih tak diterima juga. Benar saja, lagi-lagi belum rejeki. Namanya berada di urutan luar dari kuota yang tersedia.
"Gimana, mas." "Kalau gini aku gausah sekolah aja." Masih sempat ia tersenyum dibalik kesedihannya. Bisa-bisanya ia terpikir untuk tidak sekolah. Aku paham kondisi psikisnya. Sebenarnya, dalam masa pendaftaran online, ia masih terus belajar siang malam untuk menyiapkan tes masuk Madrasah Aliyah. Tes masuk sudah dikerjakan, ia amat ragu dengan jawabannya, apalagi hasilnya. Rasanya belajarnya yang kemarin masih sangat kurang. Yang jelas, mood nya tidak lagi baik untuk menunggu pengumuman.
Melihatnya yang mulai beda, aku coba untuk mulai bicara. Berbagi cerita dan pengalaman saat dulu mendaftar sekolah sampai perguruan tinggi. Sebetulnya tak banyak pelajaran yang kubagikan, namun semoga sedikit kisahku bisa sedikit mengembalikan dirinya.
Di waktu yang sama, aku melihatnya seolah-olah diriku. Diriku yang baru lulus sekolah dasar dan mendaftar SMP seorang diri di warnet dekat rumah. Memantau, hari demi hari hingga namaku lenyap di portal ppdb. Kulihat diriku yang mengerjakan soal tryout ujian nasional bahasa inggris dengan sangat payah memahai arti kata demi kata. Kulihat diriku yang saat itu mengerjakan latihan soal sbmptn di kereta dalam perjalanan acara perpisahan ke Yogyakarta.
Waktu berlalu, kemudahan dari Allah terus datang menghampiri dalam masa sekolahku. Jika ditanya apa yang kulakukan saat itu, aku berani menjawab sudah berusaha mensyukuri nikmat Allah semampuku. Hingga hari demi hari kenikmatan terus bertambah, aku diberi kesempatan untuk mengenyam pendidikan tinggi di kampus yang dikagumi banyak orang.
Angkatan 2017, untuk pertama kalinya seragam mata kuliah olahraga berganti desain saat itu. Terpampang gagah besar di punggung tulisan "100 Tahun ITB." Nyatanya, baru 3 tahun kemudian ITB resmi berusia 100 tahun. Dalam 3 tahun itulah, aku melewati waktu di kampus ini hingga saat ini. Jauh dari kata maksimal, lebih banyak leha-leha dan tidak serius. Begitulah yang juga dirasakan sebagian kawanku. "Gua ngerasa belum jadi mahasiswa. Rasa keingintahuan cuma ada waktu dosen ngejelasin panjang lebar di kelas, begitu beres kelas, di kos, semuanya kayak lenyap."
Kalau dipikir, 3 tahun terakhir sangat jauh dari ekspektasiku. Banyaknya fasilitas dan wadah pembelajaran di kampus tidak kumanfaatkan, apapun bentuknya, di dalam atau di luar kelas. Belum berani kukatakan kalau aku sudah bersyukur semampuku dengan status mahasiswaku, seberani dulu di sekolah menengah. Terlebih lagi, setelah melihat antusias dan mimpi siswa di NTT untuk melanjutkan kuliah. Mungkin mimpi besar dan usahanya bisa membuatku bertukar tempat dengannya di kampus ini. Semoga Allah membimbingku di sisa waktu untuk menjadi mahasiswa yang bersyukur hingga menutupnya dengan wisuda yang husnul khatimah...
Selamat 1 abad kampusku, semoga dapat terus menggembleng pemuda-pemudi Indonesia menjadi Soekarno-Soekarno dan Habibie-Habibie berikutnya untuk Tuhan, Bangsa, dan Almamater!
...
Laa hawla wa laa quwwata illaa billaah, perjuangan keras 2 jam terakhir Bekasi-Jakarta sebelum pukul 15.00 tanggal 3 Juli 2020 memberikan hasilnya atas izin Allah. Ia diterima di salah satu sekolah negeri di DKI Jakarta setelah sebelumnya ditolak di Jawa Barat. Sujud syukur dilakukan seiringan dengan kumandang adzan ashar di Jakarta Timur.
![]() |
"Nanti kalau udah sekolah, jangan lupa perjuanganmu saat masa pendaftaran ini.", pesanku padanya. |
HAAAA YA ALLAH MAS sy masyaaAllah jg y🙂😔😔😔
ReplyDeleteperjuangan kita semua juga??? makasih banyak pernah ada😭💔💔💔 alhamdulillaah🙂
ReplyDelete