Jeda Sejenak
Perjalanan kali ini cukup menarik. Berawal dari keinginan mendaki gunung namun tidak kesampaian sebab enggak ada teman barengan -sial, menyedihkan haha. Berhubung keinginan rehat sudah tak tertahan dan sisa cuti yang masih cukup banyak, yasudah kita rehat sejenak. Eh, usut punya usut, ternyata Ibu juga mau pulang kampung. Hmmm, coba dihubung-hubungkan daerah mana yang ada suasana masih mirip di pegunungan dan enggak terlalu jauh dari kampung.
"Mas darimana emangnya?, tanya seorang bapak kebingungan. "Loh, enggak tau, po? Semua tempat wisata di sini sudah tutup jam-jam setengah lima.", seperti menjelaskan ke orang yang sedang tersesat. "Yasudah begini saja, Mas, menginap dulu malam ini di tempat saya, besok pagi baru lanjut naik ke atas. Tak kasih diskon dua puluh ribu, jadi seratus tiga puluh ribu saja." Tidak goyah dengan tekadnya, si Pemuda tetap ingin melanjutkan jalan, belum puas kalau belum lihat langsung ke atas. Sepanjang jalan ia melihat banyak pengendara dari arah berlawanan menuruni dataran tinggi. Dalam hatinya ia membenarkan perkataan Bapak penjual bensin eceran tadi, lagi pula buat apa Bapak tadi berbohong. Di tengah jalan, hujan turun. Ternyata ada hujan di sini, padahal di kampungnya sana semuanya kering kerontang. Bahkan ada yang mengadakan sholat istisqa karena kemarau yang amat panjang ini.
Sebelum berangkat, aku memastikan dulu pada Ibu. Apakah ia yakin benar-benar ingin ikut? Apakah dia benar-benar kuat? Sebab ini sungguh, bahkan bagiku, ini bukan perjalanan biasanya. Selain berkendara motor, medan pegunungan naik turun, jarak tempuhnya pun hampir sembilan puluh kilometer. Belum lagi nanti ketika di sana.
"Assalamau'alaikum.", sebuah doa dilantunkan pada si Pemuda. "Darimana, Mas?", senyumnya tulus sekali. "Mas, sudah dapat penginapan?", kembali bertanya. Sepanjang pertemuannya itu ia memperhatikan si Bapak, wajah dengan garis tegas, nampak seperti bekas-bekas masa hidupnya, tatapannya bulat dan berani, namun siapa pun yang bertemu dengannya pasti akan merasa seperti seorang saudara dekat. "Di tempat saya saja, Mas.". Pemuda ini pun entah mengapa seperti bertemu dengan orang yang tepat. Tidak biasanya ia seyakin itu dengan orang-orang yang baru ditemuinya. "Seratus lima puluh ribu saja, Mas. Oh iya maaf, Mas nya sudah pasutri kan ya?", bertanya memastikan jangan sampai ada pasangan yang belum pasutri yang menginap di tempatnya. Entah apa yang dirasakan si Pemuda, tapi pertanyaan tadi membuat pikirannya sedikit melesat jauh. Sambil menjawab menjelaskan terkekeh-kekeh kalau ia pergi ke sana hanya berdua dengan ibunya. Setelah itu, adzan isya berkumandang. Sholat isya ditegakkan. Bapak tadi adalah muadzin dan imam sholat barusan.
Sekitar pukul tiga, kami bersiap-siang untuk menyaksikan matahari terbit dari Puncak Sikunir, yang katanya disebut sebagai golden sunrise di antara puncak-puncak beberapa gunung di hadapannya. Gunung apa, ya? Sepertinya sih Gunung Bismo, Prau, dan Sindoro, sepertinya. Jalanan gelap, namun seteleh dekat ternyata banyak pengunjung yang lebih dulu tiba. Warga sekitar banyak yang menjadi ojek dengan jaket kuning-kuning. Katanya sih cuma lima belas ribu dari parkiran mobil terakhir sampai parkiran motor sebelum tracking ke atas puncak. Dari penginapan yang berada di sekitar Titik Nol Dieng, jaraknya sekitar sembilan kilometer dengan waktu tempuh dua puluh menitan. Pagi itu, suhunya biasa saja, seperti hari-hari biasa di sana, dua belas sampai empat belas derajat celcius saja.
Oh ternyata, warga yang tinggal di sini juga manusia biasa ya. Tetap merasa kedinginan, tetap menggunakan pakaian tebal. Ternyata meskipun bertahun-tahun tumbuh dan menua di tempat seperti ini, tidak menjadikan tubuhnya tahan dengan suhu dingin. Manusia tetaplah manusia biasa seperti yang lainnya.
"Mas-nya udah lulus kuliah? Atau sudah kerja?", si Bapak bertanya saat si Pemuda ingin berpamitan pulang. "Aduh, Mas, anak saya laki-laki semua... Ada yang perempuan itu keponakan saya. Tapi sudah kelahiran sembilan lima...", si Bapak bercerita mengalir. Si Pemuda setengah tersenyum-senyum, setengah bingung. Selama perjalanan pulang, ia masih terus membayangkan kalimat tersebut. "Ya, semoga bisa kembali bertemu lagi ya, Mas." Di atas motornya, di hadapan bukit-bukit berjajar, hijaunya tetumbuhan, langit biru yang memutih, kabut berlalu-lalang menjulang. Ia menyaksikan kebesaran-Nya.
Dalam hatinya, ia berucap, betapa Rabb-nya menutupi aib-aibnya. Di tengah segala kekurangannya, ia tetap berharap semoga Rabb-nya berbaik hati menguatkannya. Menguatkan sisa perjalanannya dengan seorang rekan. Rekan yang akan membantunya dalam perjalanan panjang. Ia sadar akan lemahnya diri. Ia sadar akan dosa-dosanya. Di setiap jatuh, si Pemuda selalu bertekad bangun. Berusaha menjadi lebih baik, lebih baik, dan lebih baik. Hingga oang di sekitarnya melihat ia sebagai orang yang sudah menjadi baik. Padahal ia berletih-letih di tengah perbaikan dirinya. Ia berharap kematian menghampirinya dalam keadaan yang demikian sehingga ia tercatat sebagai seorang pejuang. Pejuang dalam menghapus keburukan di masa-masa yang telah lalu. Oleh sebab itu, ia akan terus hidup, terus berdoa, terus berusaha, semoga Rabbnya memberikan kesabaran dan menolongnya hingga ia menemui rekan hidupnya.
Belum juga menapaki tangga menuju puncak, sudah banyak ibu-ibu yang berbalik arah. Aku semakin ragu dengan Ibu. Kalau ada apa-apa gimana? Penjaga di depan bilang, kalau kira-kira tidak kuat, lebih baik tidak usah dilanjut naik. Sekali lagi kulihat wajah Ibu, bertanya memastikan. Ternyata ia sangat semangat, entah mengapa. Setapak demi setapak, Ibu mulai meminta untuk istirahat sejenak. Biasanya ia selalu berjalan cepat, tapi kali ini kuingatkan untuk berjalan perlahan. Setapak, setapak, setapak, istirahat. Akhirnya kami tiba di puncak. Kelihatannya pagi itu langit mendung dan kami tiba terlalu cepat. Perlu menunggu beberapa menit sebelum matahari terbit. Masalahnya bukan hanya menunggu, suhu di sini terlalu dingin untuk berdiam diri.
Kali ini si Pemuda tidak seperti biasanya, tidak terlalu antusias dengan mengambil objek dirinya. Ia malah sebenarnya ingin menawarkan ke orang di sekitarnya apabila ingin difotokan. Seoarang Ibu pun meminta tolong untuk difotokan bersama suami dan dua orang putrinya. Dia mengamati wajah putrinya yang masih kecil lamat-lamat. Anak itu senyum-senyum sendiri. Memakai kerudung tetapi terlihat rambut dora-nya dibagian depan. Sebenarnya ia ingin berfoto dengan adik kecil itu, tapi tak jadi, jangan-jangan nanti dia menangis. Matahari terttutup awan mendung. Namun kehangatannya tetap terasa menyentuh kulit-kulit pengunjung. Ia melihat si Ibu di usia lima puluhnya berada di ketinggian dua ribu tiga ratus meter di atas permukaan laut. Sebelum menuruni puncak, saat matahari mulai sedikit meninggi, si Pemuda mencoba mengutarakan isi hatinya pada si Ibu. Dari dulu ia sangat tertutup dengan ibunya, apalagi terkait cerita yang ia utarakan saat itu. Ia hanya berharap doanya yang semoga akan memudahkan jalannya.
"Gimana, Bu, rasanya naik gunung?", tanyaku, "Ah biasa aja, ya kayak biasa.", gaya banget jawabnya dia.
Jadi, apa yang kamu dapatkan dari perjalanan ini, Anak Muda?
Comments
Post a Comment