Review#1 - Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck

Dari Buya Hamka (1938), penerbit Bulan Bintang 212 halaman

Dalam kehidupan sekarang ini, sangat sulit sepertinya menemukan kisah antara Zainuddin dan Hayati. Kisah mereka akan membuat pembaca menyelami kehidupan mereka. Tentang cinta, adat, nasib, perjuangan, dan ketulusan. Saya jadi berpikir, apakah masih ada yang seperti itu?

Bagi saya sendiri yang tidak banyak mengerti tentang cinta, dari sini saya sedikit mengerti dan paham. Bagaimana cinta bisa menghidupkan hidup seseorang, bahkan bisa juga mematikan. Cinta yang digambarkan lewat tulisan Buya Hamka disini sangat jauh dari Cinta yang banyak digambarkan saat ini dalam tayangan televisi. Sebegitu murni dan tulus, seperti latar cerita awal di daerah pedalaman Sumatera.

Saya tertarik dengan penggambaran Buya Hamka tentang pembagian golongan manusia. Perumpamaan golongan kebendaan dan golongan kejiwaan sangat menggambarkan apa yang selama ini nampak di kehidupan. Dari sini saya jadi teringat sebuah nasihat bahwa hidup ini sebenarnya mudah, terkadang yang menjadikannya berat, sempit, dan sulit justru adalah karena tidak kuatnya terhadap perkataan orang lain.

Buku ini juga memberikan hikmah dalam menempuh hidup yang akan terus mengalir dan berputar seiring berjalannya waktu. Namanya hidup, lebih banyak terjadi hal-hal yang tidak direncanakan dan terpikirkan. Zainuddin juga mengajarkan tentang jalan perubahan, bahwa bumi Allah itu luas!

Yang lebih menarik juga adalah tentang sosok Muluk, yang memberikan inspirasi kepada pembaca bagaimana seharusnya kita menyikapi gelap, gagal, dan patahnya hidup. Mereka bukan hanya hebat bertutur kata dan menulis cerita, tapi memang pernah mengalami dan merasakan langsung.

Sebuah kutipan dari novel ini,

"Jangan sampai terlintas dalam hatimu bahwa ada pula bahagia selain bahagia cinta. Kalau kau percaya ada pula satu kebahagiaan selain kebahagiaan cinta, celaka diri kau, Dik! Kau menjatuhkan vonis kematian ke atas diri kau sendiri!"

Meskipun sudah ada versi filmnya, saya belum pernah menontonnya dan lebih tertarik membaca langsung tulisan dan gaya bahasa seorang Buya Hamka. Novel ini pertama kali terbit tahun 1938 dan ditulis dengan bahasa yang sedikit unik bagi saya. Sepertinya orang Sumatera Barat lebih asyik memahami susunan katanya.

Comments

Popular Posts