Kukira,
perjalanan kapal terpanjang kemarin dari Kupang menuju Larantuka adalah yang
terakhir. Kondisi laut mengubah jadwal kapal. Kabar baiknya, perlajalan panjang
ini akan kuhabiskan banyak di atas kasur setelah di hari-hari awal rasanya
seperti babak belur tanpa henti. Aku membutuhkan jeda.
 |
Nongkromg di tepi laut pas menjelang maghrib |
Sampai di
Alor menjadi sebuah tanda. Sangat bangga karna sudah melewati tiga pulau dengan
baik. Dan, dengan berat hati harus meyakinkan diri bahwa akan segera
berakhirnya perjalanan ini.
Langit senja
merah pekat selalu kami jumpai saat adzan maghrib mulai terdengar, tepat di
sini, seberang Pelabuhan Kalabahi. Pak Irwan membawa kami ke rumah kawannya
yang memiliki sebuah penginapan, oleh si Bapak, kami diberi penginapan cuma-cuma.
Berbeda
dengan pulau sebelumnya, di Alor, kami tidak tinggal bersama penduduk lokal dalam
rumah pribadinya. Obrolan lebih sedikit, makan pun harus cari warung makan.
Pemilik warung makannya ternyata kebanyakan orang jawa yang merantau. Lantunan
adzan selalu terdengar tiap waktu sholat. Sempat berjumpa dengan rombongan anak
perempuan di pinggir jalan dengan baju muslim sambil menggendong tas,
sepertinya ada pengajian anak-anak di sana.
 |
Makan sambil dengerin suara ombak (meja nya di pinggir laut) |
 |
Nasi kuning lima ribu dapet ayam. Ini yg bikin lu kuning, Ji? |
Dari seluruh
sekolah di seluruh pulau yang kami kunjungi, baru kami dapatkan sekolah dengan
nuansa islami, MAN 1 Alor, yang kebetulan adalah sekolah paling akhir di pulau
paling akhir. Saat itu, untuk pertama kalinya, presentasi dibuka dengan ucapan
salam sesama saudara muslim,
“Assalamu’alaikum…”.
Bahkan saat itu acara
berlangsung di dalam mushola sekolah. Cat kaligrafi di sepanjang tembok, poster
islami, karpet hijau, mimbar khotib di pojok ruangan, yang lelaki sebelah
kanan, yang perempuan sebelah kiri, ada yang mengenakan songkok, dan ada yang
memakai cadar.
Sekolah
madrasah seperti MAN di sini agak berbeda stigma nya dengan di kampung
halamanku, yang sering dilihat sebelah mata dan menjadi pilihan akhir jika tak
dapat sekolah dimana-mana.
Aku masih
ingat, Haviva, yang menanyakan satu hal yang dianggap remeh oleh siswa yang
lain karena dianggap pertanyaannya tidak perlu ditanyakan. Ia tegar mengajukan
pertanyaan dan marah pada temannya yang lain, “Tidak ada pertanyaan yang bodoh!”
Sangat tepat kalimatnya. Sebab kebodohan akan lenyap dengan bertanya dan
bertanya menunjukkan rasa ketertarikan dan keingintahuan yang tinggi, dua hal yang
menjadi driving force dalam
mempelajari sesuatu. Ia adalah siswa yang paling kuingat. Selain hal tadi, ia
sempat bilang tertarik mempelajari Metalurgi. Ia sempat mempertimbangkan
untuk memilih Teknik Metalurgi Untirta saat seleksi nanti. Apapun dan dimanapun
nanti, kamu akan bersinar di sana pasti, Dek!
 |
Anehnya waktu di Alor, bukan kita yang ke seklahnya, tapi adek-adeknya yang dateng dari beberapa sekolah ke SMAN 1 Alor. (Momen waktu ketinggalan kamera) |
Sangat rindu
dengan suasananya. Cantik sekali. Ternyata cantik punya definisinya masing-masing
ya, begitupun di sini. Matanya berbeda dengan mata di sana, ada cahaya di bola
matanya, seolah tampak putih di kehitamannya.
Baru di sini,
kami sempat membeli oleh-oleh NTT, setelah berharap-harap cemas khawatir tidak
sempat. Bersama rekan Pak Irwan, Pak Somad, yang sering bolak-balik ke
penginapan untuk berbincang sambil membawakan barang di tokonya. Dalam
kesehariannya sebagai seorang dosen di salah satu sekolah tinggi di Alor, Pak
Somad juga menjualkan oleh-oleh khas Alor yang sebagian dibuat oleh keluarganya
sendiri seperti, kain tenun ikat, kain tenun celup, dan gelang dari tanaman
laut atau cangkang penyu.
 |
Dikasih diskon Pak Somad |
Baru di
sini, kami sempat berkeliling dengan puas, meskipun kendaraan tidak ada. Saat
itu, Aul sedang istirahat di kamarnya. Aku, Oji, dan Kharits memutuskan untuk
menghabiskan waktu di luar. Hingga akhirnya berkunjung ke rumah Dani, seorang
kenalan Oji saat perjalanan ke Alor karena kebetulan nomor kasurnya sama,
berbagi tempat tidur, dan akhirnya akrab. Dani mengajak kami ke rumahnya,
setelah sebelumnya kehabisan ide karena kami terlihat bosan yang sebelumnya
bersembunyi dari kejaran orang yang mengalami gangguan kejiwaan, ia hanya
berusaha menyambut tamunya dengan sebaik mungkin, sampai membelikan gorengan
dan minuman dengan motornya dan kami menunggu melongo di ruang tamu. Tengkyu,
Dan! Semoga lu sukses cari kuliahnya.
 |
Plongo-plongo nungguin Dani nyari gorengan |
Suara gemuruh
putaran baling-baling melengking keras, drone mulai terbang mengudara. Sebelum
pergi meninggalkan penginapan untuk terakhir kalinya. Melihat suasana
pelabuhan dan tepi laut Kalabahi terakhir kali, Oji menerbangkan drone nya dengan jaket
almamater deep cobalt blue –nya setelah seluruh carrier dan barang bawaan dimasukkan ke dalam mobil. Meskipun
sampai tulisan ini dibuat, Oji belum menunjukkan vidionya, cepat buat lah, Ji!
 |
Merah beneran! |
 |
Udah bodo amat sama yang namanya kerapihan (baru nyadar atm ilang waktu di Bandung) |
Comments
Post a Comment