Timur#8 - Bernuansa Jawa

Kukira, perjalanan kapal terpanjang kemarin dari Kupang menuju Larantuka adalah yang terakhir. Kondisi laut mengubah jadwal kapal. Kabar baiknya, perlajalan panjang ini akan kuhabiskan banyak di atas kasur setelah di hari-hari awal rasanya seperti babak belur tanpa henti. Aku membutuhkan jeda.

Nongkromg di tepi laut pas menjelang maghrib

Sampai di Alor menjadi sebuah tanda. Sangat bangga karna sudah melewati tiga pulau dengan baik. Dan, dengan berat hati harus meyakinkan diri bahwa akan segera berakhirnya perjalanan ini.

Langit senja merah pekat selalu kami jumpai saat adzan maghrib mulai terdengar, tepat di sini, seberang Pelabuhan Kalabahi. Pak Irwan membawa kami ke rumah kawannya yang memiliki sebuah penginapan, oleh si Bapak, kami diberi penginapan cuma-cuma.

Berbeda dengan pulau sebelumnya, di Alor, kami tidak tinggal bersama penduduk lokal dalam rumah pribadinya. Obrolan lebih sedikit, makan pun harus cari warung makan. Pemilik warung makannya ternyata kebanyakan orang jawa yang merantau. Lantunan adzan selalu terdengar tiap waktu sholat. Sempat berjumpa dengan rombongan anak perempuan di pinggir jalan dengan baju muslim sambil menggendong tas, sepertinya ada pengajian anak-anak di sana.

Makan sambil dengerin suara ombak (meja nya di pinggir laut)

Nasi kuning lima ribu dapet ayam. Ini yg bikin lu kuning, Ji?


Dari seluruh sekolah di seluruh pulau yang kami kunjungi, baru kami dapatkan sekolah dengan nuansa islami, MAN 1 Alor, yang kebetulan adalah sekolah paling akhir di pulau paling akhir. Saat itu, untuk pertama kalinya, presentasi dibuka dengan ucapan salam sesama saudara muslim, 

Assalamu’alaikum…”. 

Bahkan saat itu acara berlangsung di dalam mushola sekolah. Cat kaligrafi di sepanjang tembok, poster islami, karpet hijau, mimbar khotib di pojok ruangan, yang lelaki sebelah kanan, yang perempuan sebelah kiri, ada yang mengenakan songkok, dan ada yang memakai cadar.




Sekolah madrasah seperti MAN di sini agak berbeda stigma nya dengan di kampung halamanku, yang sering dilihat sebelah mata dan menjadi pilihan akhir jika tak dapat sekolah dimana-mana.

Aku masih ingat, Haviva, yang menanyakan satu hal yang dianggap remeh oleh siswa yang lain karena dianggap pertanyaannya tidak perlu ditanyakan. Ia tegar mengajukan pertanyaan dan marah pada temannya yang lain, “Tidak ada pertanyaan yang bodoh!” Sangat tepat kalimatnya. Sebab kebodohan akan lenyap dengan bertanya dan bertanya menunjukkan rasa ketertarikan dan keingintahuan yang tinggi, dua hal yang menjadi driving force dalam mempelajari sesuatu. Ia adalah siswa yang paling kuingat. Selain hal tadi, ia sempat bilang tertarik mempelajari Metalurgi. Ia sempat mempertimbangkan untuk memilih Teknik Metalurgi Untirta saat seleksi nanti. Apapun dan dimanapun nanti, kamu akan bersinar di sana pasti, Dek!
Anehnya waktu di Alor, bukan kita yang ke seklahnya, tapi adek-adeknya yang dateng dari beberapa sekolah ke SMAN 1 Alor. (Momen waktu ketinggalan kamera)

Sangat rindu dengan suasananya. Cantik sekali. Ternyata cantik punya definisinya masing-masing ya, begitupun di sini. Matanya berbeda dengan mata di sana, ada cahaya di bola matanya, seolah tampak putih di kehitamannya.

Baru di sini, kami sempat membeli oleh-oleh NTT, setelah berharap-harap cemas khawatir tidak sempat. Bersama rekan Pak Irwan, Pak Somad, yang sering bolak-balik ke penginapan untuk berbincang sambil membawakan barang di tokonya. Dalam kesehariannya sebagai seorang dosen di salah satu sekolah tinggi di Alor, Pak Somad juga menjualkan oleh-oleh khas Alor yang sebagian dibuat oleh keluarganya sendiri seperti, kain tenun ikat, kain tenun celup, dan gelang dari tanaman laut atau cangkang penyu.


Dikasih diskon Pak Somad

Baru di sini, kami sempat berkeliling dengan puas, meskipun kendaraan tidak ada. Saat itu, Aul sedang istirahat di kamarnya. Aku, Oji, dan Kharits memutuskan untuk menghabiskan waktu di luar. Hingga akhirnya berkunjung ke rumah Dani, seorang kenalan Oji saat perjalanan ke Alor karena kebetulan nomor kasurnya sama, berbagi tempat tidur, dan akhirnya akrab. Dani mengajak kami ke rumahnya, setelah sebelumnya kehabisan ide karena kami terlihat bosan yang sebelumnya bersembunyi dari kejaran orang yang mengalami gangguan kejiwaan, ia hanya berusaha menyambut tamunya dengan sebaik mungkin, sampai membelikan gorengan dan minuman dengan motornya dan kami menunggu melongo di ruang tamu. Tengkyu, Dan! Semoga lu sukses cari kuliahnya.


Plongo-plongo nungguin Dani nyari gorengan
Suara gemuruh putaran baling-baling melengking keras, drone mulai terbang mengudara. Sebelum pergi meninggalkan penginapan untuk terakhir kalinya. Melihat suasana pelabuhan dan tepi laut Kalabahi terakhir kali, Oji menerbangkan drone nya dengan jaket almamater deep cobalt blue –nya setelah seluruh carrier dan barang bawaan dimasukkan ke dalam mobil. Meskipun sampai tulisan ini dibuat, Oji belum menunjukkan vidionya, cepat buat lah, Ji!

Merah beneran!

Udah bodo amat sama yang namanya kerapihan (baru nyadar atm ilang waktu di Bandung)

Comments

Popular Posts