Safarnama #2 - "Rumah" sebrang
Alhamdulillah wa syukurillah...
Aku masih dapat mengucap syukur dalam tulisan ini. Meskipun dalam keseharianku aku sering mendustakan nikmat-Nya.
Perjalanku ke Semeru mejadi tak terduga. Keretaku yg datang terlalu cepat, 2 hari sebelum pendakian, ternyata punya cerita sendiri.
Aku berencana untuk menjadi "Malang" yg sebenar-benarnya. Lepas stasiun, entah kemana, berbuat apa. Rencanaku satu, ke masjid, dan bermalam. Udah itu aja.
Tetapi, catatan takdir mendahuluiku. Dari Stasiun Malang kota lama, aku langsung menuju Terminal Arjosari untuk menuju ke Terminal Parabaya di Sidoarjo.
Allah mempertemukanku dengan orang yg sangat mencintai saudaranya, bahkan saudara jauh. Aku bermalam di "rumah"nya. Jika kau bermain kesana, entah akan kau sebut apa tempat tinggalnya nya. Tapi di sana, 10 sampai 15 menitku terasa hidup. Aku sangat menikmati. Kamar berukuran 4×4 meter.
Namanya Lek Nawar, kelahiran 65. Aku bingung bagaimana menjelaskan sikapnya melalui tulisan. Kau pasti tidak akan dapat membayangkan. Betapa heboh dan ramahnya dia dalam menjamu seorang bocah yang tidak sengaja mampir ke sana.
Dia ambil cuti dan menemaniku di rumah. Aku dijemput di Terminal Parabaya. Aku menunggu tapi tak ada kabar. Mungkin masih di pabrik. Tiba-tiba nomor asing menelponku. Ternyata itu Lek Nawar, ia menungguku di tempat penurunan penumpang. Aku langsung bergegas turun dari musola di terminal. Aku melihatnya dari jauh dengan seragam kerja coklat maspionnya, kebingungan menoleh kesana-kemari. Aku hampiri, kaget dia sambil tertawa-tawa dan bercerita banyak sekali. Rupaya, nomor yg barusan menelponku adalah nomor orang lain. Dia meminjamnya untuk menghubungi karena hp nya tiba-tiba eror. Ia padahal sudah membeli pulsa di dekat terminal. Karena terburu-buru menemuiku, ia meninggalkannya tanpa konfirmasi. Sampai besoknya, pulsanya tak kunjung masuk, dia dibohongi katanya, kacaunya.
Padahal siang itu, aku hanya berbincang sedikit dengannya lalu tidur. Apapun yang ada di kulkasnya, dikeluarkan untukku. Bahkan, ketika waktu berbuka puasa hampir tiba, aku mengikutinya untuk membeli sayuran. Mau buat sayur terong dan tempe goreng katanya, semangat sekali.
Waktu sore pun berlalu. Karena terlalu senang setelah bercakap dengan saudaranya via vidio call, dia pun lupa memasak rencananya. Bahkan, aku sama sekali tidak makan rencana-rencananya itu. Aku membayangkan betapa bahagianya dia dengan kedatanganku.
Adzan maghrib berkumandang. Dalam perjalanan menuju masjid, kami melewati pedagang sate. Tanpa pikir-pikir, dia langsung memesan sate untuk makan malam kami. Padahal, setelah pulang dari masjid, ia melewati pedagang sate dan tidak mengambil satenya dan langsung kembali ke rumahnya. Saat kutanya, belum matang katanya. Aku rasa bukan karena belum matang, tapi karena ia tidak bawa uang saat memesan sate tadi.
Cerita ini akan terasa biasa-biasa saja, jika kau belum mengunjungi tempat tinggalnya di Gedangan sana.
Tinggal seorang diri, terpisah provinsi antara ia dan ibu, istri, serta anak-anaknya di sebrang Gunung Arjuna sana. Seharian kerja, minggu sampai minggu, pagi sampai sore. Lelah, menunggu tanggal merah, 1 atau 2 hari, untuk kembali ke Kragilan.
____________________
Pertemuanku dengan orang-orang semisalnya selalu membekas dalam ingatanku. Lek Nawar dan Mbah Ahmad. Gedangan dan Sucen. Bagaimana kondisi kehidupan mereka, bagaimana mereka menjamu tamu walaupun seorang bocah, dan bagaimana tawa riangnya.
Penataran Dhoho, 0/0, Gedangan-Malang
Aku masih dapat mengucap syukur dalam tulisan ini. Meskipun dalam keseharianku aku sering mendustakan nikmat-Nya.
Perjalanku ke Semeru mejadi tak terduga. Keretaku yg datang terlalu cepat, 2 hari sebelum pendakian, ternyata punya cerita sendiri.
Aku berencana untuk menjadi "Malang" yg sebenar-benarnya. Lepas stasiun, entah kemana, berbuat apa. Rencanaku satu, ke masjid, dan bermalam. Udah itu aja.
Tetapi, catatan takdir mendahuluiku. Dari Stasiun Malang kota lama, aku langsung menuju Terminal Arjosari untuk menuju ke Terminal Parabaya di Sidoarjo.
Allah mempertemukanku dengan orang yg sangat mencintai saudaranya, bahkan saudara jauh. Aku bermalam di "rumah"nya. Jika kau bermain kesana, entah akan kau sebut apa tempat tinggalnya nya. Tapi di sana, 10 sampai 15 menitku terasa hidup. Aku sangat menikmati. Kamar berukuran 4×4 meter.
Namanya Lek Nawar, kelahiran 65. Aku bingung bagaimana menjelaskan sikapnya melalui tulisan. Kau pasti tidak akan dapat membayangkan. Betapa heboh dan ramahnya dia dalam menjamu seorang bocah yang tidak sengaja mampir ke sana.
Dia ambil cuti dan menemaniku di rumah. Aku dijemput di Terminal Parabaya. Aku menunggu tapi tak ada kabar. Mungkin masih di pabrik. Tiba-tiba nomor asing menelponku. Ternyata itu Lek Nawar, ia menungguku di tempat penurunan penumpang. Aku langsung bergegas turun dari musola di terminal. Aku melihatnya dari jauh dengan seragam kerja coklat maspionnya, kebingungan menoleh kesana-kemari. Aku hampiri, kaget dia sambil tertawa-tawa dan bercerita banyak sekali. Rupaya, nomor yg barusan menelponku adalah nomor orang lain. Dia meminjamnya untuk menghubungi karena hp nya tiba-tiba eror. Ia padahal sudah membeli pulsa di dekat terminal. Karena terburu-buru menemuiku, ia meninggalkannya tanpa konfirmasi. Sampai besoknya, pulsanya tak kunjung masuk, dia dibohongi katanya, kacaunya.
Padahal siang itu, aku hanya berbincang sedikit dengannya lalu tidur. Apapun yang ada di kulkasnya, dikeluarkan untukku. Bahkan, ketika waktu berbuka puasa hampir tiba, aku mengikutinya untuk membeli sayuran. Mau buat sayur terong dan tempe goreng katanya, semangat sekali.
Waktu sore pun berlalu. Karena terlalu senang setelah bercakap dengan saudaranya via vidio call, dia pun lupa memasak rencananya. Bahkan, aku sama sekali tidak makan rencana-rencananya itu. Aku membayangkan betapa bahagianya dia dengan kedatanganku.
Adzan maghrib berkumandang. Dalam perjalanan menuju masjid, kami melewati pedagang sate. Tanpa pikir-pikir, dia langsung memesan sate untuk makan malam kami. Padahal, setelah pulang dari masjid, ia melewati pedagang sate dan tidak mengambil satenya dan langsung kembali ke rumahnya. Saat kutanya, belum matang katanya. Aku rasa bukan karena belum matang, tapi karena ia tidak bawa uang saat memesan sate tadi.
Cerita ini akan terasa biasa-biasa saja, jika kau belum mengunjungi tempat tinggalnya di Gedangan sana.
Tinggal seorang diri, terpisah provinsi antara ia dan ibu, istri, serta anak-anaknya di sebrang Gunung Arjuna sana. Seharian kerja, minggu sampai minggu, pagi sampai sore. Lelah, menunggu tanggal merah, 1 atau 2 hari, untuk kembali ke Kragilan.
____________________
Pertemuanku dengan orang-orang semisalnya selalu membekas dalam ingatanku. Lek Nawar dan Mbah Ahmad. Gedangan dan Sucen. Bagaimana kondisi kehidupan mereka, bagaimana mereka menjamu tamu walaupun seorang bocah, dan bagaimana tawa riangnya.
Penataran Dhoho, 0/0, Gedangan-Malang
Comments
Post a Comment