Safarnama #4 - Keramaian di Kesepian

Setelah pendakian dan bermalam di Malang, keesokannya, tanggal 1 Juli, aku pergi menuju Jombang. Setelah sebelumnya mengembalikan logistik sewaan, aku langsung meluncur ke Terminal Landungsari dari Terminal Arjosari. Bis Bagong namanya, bis mini dengan rute Malang-Jombang. Lumayan, 25 ribu selama 3 jam.

Prapatan Mojosongo, aku turun di sana. Aku dijemput jalan kaki. Ternyata rumahnya dipinggir jalan raya.

Namanya Lek Idah, seumuran ibuku. Bukan hanya seumuran ibuku, aku merasa sifat dan perlakuannya padaku seperti ibu sendiri. Mbahku, bapakku, belum pernah ada yang mampir kerumahnya. Tapi aku, sudah sampai sini. Alangkah indahnya menyambung persaudaraan.

Senangnya tidak karuan dengan kehadiranku. Selain menjadi keluarga Mbah yang pertama kali mampir kesana, aku juga menemaninya. Menemani? Ya, Lek Idah tinggal seorang diri dalam rumah yang cukup luas. Suaminya sudah meninggal sejak lama. Anak pertamanya bekerja dan hanya pulang 2 minggu sekali. Anak keduanya berkuliah di luar kota. Dia? Menjalani hidup seorang diri.

Lek Idah sangat menjaga diri. Puasanya kuat. Ngajinya, solatnya. Solat pun sangat jarang ke masjid. Ia sedang berpuasa saat aku tiba di sana. Aku ingat sekali, ia sangat senang ketika aku buatkan secangkir teh hangat untuknya berbuka puasa. Terharu, benar-benar senang! Ia tidak pernah keluar rumah kecuali jika diperlukan. Pintu rumahnya rapat.

Karena kesabaran dalam menjalani hidup-hidupnya, tekadnya menjaga diri, atau kebaikan lain yang aku tidak tau apa, hidupnya benar-benar terpenuhi. Tadinya aku sempat bertanya-tanya, bagaimana penghidupannya. Suaminya yg telah meninggal adalah pensiunan polisi, di sebrang rumahnya ia memiliki beberapa kontrakan, ia juga punya sawah yg cukup luas.

Belum cukup, anak-anaknya pun juga terkena keberkahan hidup. Anak pertamanya, setelah lulus SMA, ikut seleksi masuk perguruan tinggi, namun gagal, dan nganggur 1 tahun. Sudah malu kalau ketemu tetangga, katanya. Namun, Lek Idah meyakinkan anaknya. Tahun kedua, ia mencoba seleksi untuk mengikuti pendidikan kepolisian. Lagi-lagi gagal, benar-benar perjuangan. Tahun berikutnya, ia mencoba lagi. Atas ketabahan dan kesungguhan tekadnya, Allah pun menjawab. Ia diterima untuk mengikuti pendidikan kepolisian dan sekarang bertugas di Polda Jawa Timur. Bersamaan dengan itu, ia juga mendaftar kuliah sarjana, untuk kelas akhir pekan. Sambil kerja, sambil kuliah. Keadaannya sungguh berputar.
Sedangkan, anaknya yg kedua, langsung berkuliah setelah lulus SMA. Yg unik, ia tidak tinggal di kosan. Siangnya kuliah, malamnya nyantri di pondok pesantren.

Dalam hari-harinya, Lek Idah benar-benar sendiri. Anak pertamanya, bertugas di daerah Sidoarjo. Anak keduanya, berkuliah di luar kota. 2 minggu sekali anaknya pulang. Kalau pulang, ia bersama anaknya mengunjungi makam suaminya, nyekar.

Makan sendiri, tidur sendiri, solat sendiri, sahur sendiri, nonton tv sendiri.

Sampai waktu ashar tiba. Aku benar-benar kaget. Tiba-tiba banyak orangtua, naik motor dari jauh, mengantar anaknya sekitaran SD, mengenakan baju koko warna-warni. Ternyata, Lek Idah adalah guru ngaji. Sampai maghrib, baru rumahnya sepi kembali. Muridnya sangat banyak dan tidak hanya yg dekat.

Saat kutanya, ia hanya mengajar seorang diri, tidak ada guru lain. Ia pun sudah berjanji, tidak boleh ada santri nya yg membayar, semuanya gratis, pengajian untuk semua.

Sangat banyak pelajaran yg bisa diambil darinya. Itulah keramaian di kesepian.


Comments

Popular Posts