Safarnama #3 - 3676 mdpl

Kuapok ?!

Tanggal 27 Juni, aku tiba di Malang dari Sidoarjo dengan Bis Tentrem. Temanku menjemputku di terminal. Lumayan, 3 jam di perjalanan. Hari itu aku berpuasa. Harapanku bisa tidur sejenak di rumah temanku, Cheryl. Masalahnya, perlengkapan belum beres. Langsung mencari dan menuju beberapa tempat penyewaan. Sore, maghrib berkumandang. Aku berbuka puasa dengan yang ada. Alhamdulillah, ditraktir mie ayam, aku juga. Bedanya, perutku benar-benar kosong dan langsung diisi mie ayam. "Santai lah".

Pukul 4 pagi, kami bergegas packing karena jeep akan segera datang menjemput. Panggilan alam. Perutku kacau, gabisa ditoleransi. "Kenapa sekarang ?!" Yang kubayangkan tentang kekejaman alam justru harus kuawali dengan kondisi fisik yg kacau.

Sekitar pukul 7, danau Ranupane yg berkabut menyambut kehadiran kami dengan dingin yg menusuk. Sarapan, lumayan nasi bungkus, nasi terakhir yang kumakan sebelum naik ke Semeru. Surat kesehatan, baru dibuat saat itu juga. Langsung menuju ke antrian simaksi untuk administrasi.

Perjalanan panjang dimulai. Aku sangat buta dengan dunia mendaki atau alam pegunungan. Ini adalah pertama kalinya aku mendaki gunung dan langsung ke Semeru, gilak! Temanku bilang, enaknya di Semeru, dalam perjalanan mendaki masih ada pos-pos perisitirahatan. Benar saja, ada 4 pos yg kami temui. Semangka! Itu lah motivasi setiap pendaki. Ya, setiap pos menjual semangka sampai gorengan. Segarnya bukan main.

Perjalanan paling panjang di antara setiap pos yang kurasakan adalah dari gerbang awal menuju pos 1. Perjalanan paling pendek yang kurasakan adalah dari pos 2 ke pos 3.

Perjalanan paling menegangkan adalah perjalanan dari Ranu Kumbolo menuju Kalimati. Pergi tidak bersama rombongan lain karena sudah terlalu sore menjelang maghrib. Medan terasa biasa saat melewati Oro-Oro Ombo sampai kami tiba di Cemoro Kandang. Kegelapan menyelimuti pepohonan dan semak belukar. Suhu dingin mulai menembus pakaianku yang lapis 5 dengan sarung tangan, kupluk, dan masker. Berbeda dengan temanku yang mengkhawatirkan makhluk alam lain, aku justru sangat takut dengan kemunculan "penghuni asli" Gunung Semeru. Pantera padus. Sejenis macan tutul yang hidup di malam hari. Sangat gelap. Kami berjalan, temanku Hilda, si ketua kelompok, berada paling depan membuka jalan. Dia tidak takut sama sekali. Aku? Senterku mati, tanpa penerangan. Aku mengandalkan senter Rozan yg berada di belakangku dan Nosa yg ada di depanku. Setiap langkah Nosa harus diperhatikan. Beberapa kali istirahat di tengah hutan belantara. Duduk sejenak, sampai dingin mulai terasa, dan kami melanjutkan perjalanan. Jutaan bintang yg memenuhi langit Gunung Semeru menemani perjalanan menegangkan kami. Setiap istirahat, menengadah pandangan ke langit, cahaya bintang terlihat berjalan menembus dedaunan.

 Perjalanan malam hari terasa lebih cepat. Kami hanya butuh waktu kurang dari 3 jam untuk tiba di Kalimati. Sekitar pukul 9 malam, kami tiba. Hilda membagi tugas. Sebagian merangkai tenda, sebagian menyiapkan kompor untuk makan. Pekerjaan harus dilakukan secepat mungkin. Perut harus segera diisi dan tubuh harus segera diistirahatkan. Mie! Lagi-lagi makan mie! Tidak ada pilihan. Hanya itu yg paling mudah dan cepat untuk dimasak. "Yaudah, Alhamdulillah." Setiap bagian tubuh yg terkena air saat itu, jangan dibayangkan betapa dinginnya, jari tangan terasa membeku. Setiap hembusan nafas mengeluarkan asap. Makan malam selesai, kami langsung memasuki tenda. Dibungkus pakaian berlapis-lapis dan sleeping bag, kami tidur. Kata teman-temanku, malam ini harus bangun jam 1 malam untuk menuju puncak.

Sekitar jam 11 malam, pendaki lain di sekitar tenda kami sudah mulai mempersiapkan tim menuju puncak. Jelas lah! Mereka sampai Kalimati jam berapa? Pukul 1 malam kami bangun. Salsa, yg paling bersemangat untuk summit, yg terlihat akan bangun paling awal tadi malam, paling sulit melepas sleeping bag nya. Memang kondisi yang mengerikan. Minyak, madu, membeku! Kami pun sepakat untuk beradaptasi beberapa menit. Kami baru bisa keluar tenda sekitar pukul 2 malam.

Perjalanan menuju Puncak Mahameru harus dilakukan tengah malam. Karena katanya, pada siang hari, sekitar pukul 11, arah angin berubah dan akan membawa letupan wedhus gembel dari Kawah Jonggring menuju jalur pendakian.
Itu yang paling mengerikan dari Semeru. Gas beracun. Soe Hok Gie sudah menjadi korban keganasannya.

Bagiku, ini adalah perjalanan Kalimati menuju Puncak Mahameru adalah yang paling berat. Setelah perjalanan panjang dari Ranu Pane ke Kalimati tanpa tidur dan hanya sebentar tidur di Kalimati, fisik yg hanya diisi oleh mie instan harus dipaksa menuju puncak dengan suhu yang paling ekstrim dalam sehari-semalam. Temanku kuat-kuat. Aku? Sebelum sampai batas vegetasi. Perutku mulai terasa mual. Aku minta beristirahat. Saat duduk, aku langsung memuntahkan isi perutku. Kosong sudah tubuh kerempengku. Lebih lega, aku tidak akan kembali. Aku harus melanjutkan perjalanan. Salsa memberikanku tolakangin, aku lebih lega. Ternyata batas vegetasi masih sangat jauh. Apalagi ke puncak! Mendekati batas vegetasi, mulai banyak terlihat cahaya putih dari atas. Cahaya putih berbaris rapih. Cahanya itu berasal dari para pendaki yg sudah mulai masuk di area berpasir dan berbatu dengan kemiringan sekitar 100°. Nyali kami diuji setelah melihat kemiringan medan di depan mata. Sunrise saat di puncak sudah bodoamat. Syukur-syukur kami masih bisa sampai puncak sebelum tidak diperbolehkan.

Hatiku bergetar saat cakrawala mulai terlihat. Batas tegas jingga langit dengan hitamnya bumi mulai terlihat. Aku berusaha mendokumentasikan peristiwa itu dengan kamera dan perasaan.

Tak diduga, Hilda yang paling diandalkan, ternyata tertinggal jauh di belakang. Memang di antara kami berenam, hanya Hilda yang membawa carrier. Kami yang sudah diatas tidak tau kenapa Hilda sangat lama. Ternyata, kakinya kram. Rozan yang sudah kehilangan semangat menunggu Hilda. Aku, Nosa, Salsa, dan Prima melangkah di depan. Aku dan Nosa sangat bersemangat melanjutkan sampai puncak. Sangat antusias. Mungkin karena ini pendakian pertama kami. Salsa? Lebih semangat lagi. Ia tak ingin tiga kali kembali ke Semeru, setelah pendakian pertamanya gagal summit.

Bendera merah putih mulai terlihat. Katanya, kalau bendera sudah terlihat, itu artinya puncak sudah dekat. Dekat? Daritadi aku lihat ke atas memang dekat, tapi langkah kaki seperti tidak berpindah.

Bayanganku di puncak sana, terdapat hamparan pasir luas dan aku dapat bersantai dengan udara dingin. Ternyata tidak, bebatuan dimana-mana. Matahari terik menyengat membakar kulit. Sisa air hanya untuk turun nanti, setengah botol 600ml?

Titik tertinggi pulau jawa, tanah para dewa, negeri di atas awan, tubuh kurus kerempengku sampai di atas sini. Aku tidak bisa mengabadikan momen itu dengan puas. Tubuhku lemas. Diterpa angin kencang nan dingin, disengat terik mentari panas yg membakar.

Apa yg kudapatkan? Tidak bisa dijelaskan. Yg jelas, kami mendapatkan sesuatu, sesuatu yg hanya bisa dirasakan oleh mereka yg menapakkan kaki di Atap Pulau Jawa ini.


Mahameru, Semeru, hampir mati di puncak pertamaku.
Wijayakusuma, Premium 1, 3B, Jombang-Kutoarjo

Comments

  1. asik bgt��������������������������������

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts