Timur#2 - Pesawat-terbang terbang

Pesawat mulai berputar haluan, menyeimbangkan tekanan di dalam dan luar kabin. Bahkan sebelumnya, bahan bakar sudah harus terisi, semua bagian komponen nya pasti harus dilakukan pengecekan. Mesin pesawat mulai dihidupkan. Suaranya meraung-raung mendebarkan dada. Peluncuran dimulai. Penumpang terhempaskan ke belakang. Pesawat melaju cepat mengambil ancang-ancang untuk lepas. Hingga sebelum ujung aspal, ia telah terbang menangangkasa. Menembus awan, menajamkan sudut ke atas, memiringkan posisi untuk memutar arah. Selapis awan dilewati. Sambil terbang miring ke atas, lapisan ditembus sekali lagi. Sampai akhirya tiba di target ketinggian. 35 ribu kaki. Kondisi stabil, lampu sabuk pengaman dimatikan.


Lapisan awan


Kharits membangunkanku, katanya, Stasiun Wonokromo sebentar lagi. “Berapa stasiun lagi?” “Habis ini.” “Habis stasiun yang akan berhenti nanti?” “Kalo kereta berhenti, udah Wonokromo.” Seketika, kami langsung bergegas menyiapkan barang-barang, jajanan yang tercecer, ransel di kolong tempat duduk, dan carrier di atas tempat duduk orang lain. Banyak sekali yang turun di stasiun ini. Entah berapa lama berhenti di stasiun ini. Kereta berhenti, semua penumpang yang ingin turun sudah berhenti, kami masih sibuk berkemas dan belum mengambil carrier. Alhamdulillah, kami tiba di Surabaya. Tak ada yang tertinggal. Meskipun sedikit terburu-buru takut kereta kembali jalan. Kami menunggu Ima, di pinggir jalan, ternyata sudah pukul 00.59. Baik sekali dia. Kami di antar ke rumahnya, dengan mobilnya, langsung ia yang mengemudikannya, lincahnya bukan main. Kami bermalam di rumahnya.


Rumahnya Ima


Kharits bilang, semua bawaan yang berupa cairan segera dipindahkan ke carrier untuk di letakkan di bagasi pesawat. Alat-alat elektronik dibawa dengan ransel untuk masuk ke kabin. Setelah itu, kami beristirahat. Aul masuk ke kamar, aku, Oji, dan Kharits di ruang tamu.

Jadwal pesawat kami pukul 6.10 WIB. Kharits pagi itu bangun paling awal dan membangunkan kami. Adzan subuh berkumandang keras. Alhamdulillah masjid sangat dekat dari sini. Setelah semua carrier masuk ke mobil, kami siap dan langsung berangkat. Sayangnya, kami tak sempat berpamitan dan berterimakasih dengan orangtua Ima karena masih tertidur. Sepertinya masih lelah karena menyambut kami tengah malam tadi. Baik sekali mereka.

Mobil melaju cepat tanpa hambatan. Seperti tadi malam, Ima sangat lincah mengendalikan kemudinya. Aku, Kharits, dan Aul lebih banyak diam di mobil. Antara melamun dan menahan kantuk. Sepanjang jalan hanya ada suara percakapan Ima-Oji dan musik mp3 mobil.

Belum sadar udah mau ketinggalan pesawat


Ternyata repot sekali masuk ke bandara. Pantas lekku mewanti-wanti untuk tiba 2 jam sebelum keberangkatan, meskipun itu terlalu lama. “CITILINK — KUPANG — 6.10 — WAITING ROOM” Saat kami baru tiba, ternyata seharusnya kami sudah check in dan bersantai di ruang tunggu. Aneh, panik, sekaligus seru. Kharits pernah tak diizinkan masuk mesipun keberangkatan pesawat masih 45 menit lagi. Kami? Tersisa kurang dari 30 menit! Kami kebingungan melihat antrian checkin dan bagasi yang amat panjang. Beberapa penumpang di depan sempat kami “selak” karena ia masih lama berangkatnya. Ngebayangin betapa gak lucunya kalo sampe tertinggal pesawat! Kebodohan. Lari menaiki tangga setelah check in, terburu-buru melewati pemeriksaan kedua. “Kenapa sih diperiksa mulu?” Semua lepas dan lega, akhirnya kami bisa masuk dan duduk manis tak tertinggal. Ransel dimasukkan, sabuk dikencangkan, ponsel dikondisikan. Aul tak butuh waktu lama untuk melanjutkan mimpinya di rumah Ima. Aku sibuk memandangi jendela dan sangat exited seperti orang norak dan memang begitu. Pesawat terbang terbang!


Kharits kangen Jogja


Destinasi NTT, tergantung di antara langit dan bumi setinggi puluhan ribu kaki, terombang ambing di tengah luasnya dan dalamnya lautan, yang seharusnya melunakkan hati, kembali sadar akan hakikat lemahnya diri yang sangat butuh perlindungan dan pertolongan Robbnya.

Citilink, 22B, SUB-KOE

Comments

Popular Posts