Timur#9 - Relativitas


Aku masih ingat, saat kegiatan semacam masa orientasi siswa di SMA, baru dikasih tugas membuat nametag sehari sebelum pengumpulan. Nametag tak biasa, nametage dengan segara rincian dan presisinya setiap ukuran di setiap sisinya. Cukup menggambarkan bagaimana nanti di masa-masa sekolah. Meski waktu acara selesai, nametag itu yang paling diingat. “BATTALION”. Jaket angkatan kami benar-benar menyosokkan nama angkatannya. Dulu, sempat beredar kabar kalau-kalau acara orientasi siswa saat angkatanku yang sebagai pesertanya, didatangi wartawan, heboh. Katanya semi militer. Bentak-bentakan dan lain sebagainya. Semi militer? Rasanya berlebihan kalau di bilang semi militer. Gaada fisik sama sekali, latihan fisik juga engga, push up, sit up engga ada.

Jadi inget kasus-kasus di berita di beberapa tempat yang muncul belakangan. Ada orang tua yang tak terima dengan cara guru mendidik anaknya di sekolah. Cara guru yang suka kontak fisik. Nyubit, jewer, atau yang lainnya. Orangtua yang pasti sayang sama anaknya akhirnya ga terima. Akhirnya gabisa selesai secara damai-damai aja. Ada prosesnya.

Salah satu gedung SD di Kecamatan Titihena, Flores Timur

Riti, teman kecilku di Desa Lamahala, Pulau Adonara pernah bercerita. Aku sangat mengaguminya. Dari cara bicaranya sangat terlihat dia adalah anak yang cerdas dan lebih dewasa dari usianya yang masih kelas 3 SD. Ia sangat senang bersekolah karena di sekolah ia bertemu dengan teman-temannya. Meskipun gurunya di sekolah tidak baik, katanya. Ia sering dimarahi bahkan dipukul olehnya. Ia tidak suka. Tapi hal itu tidak mengurangi semangat sekolahnya. Bahkan ia bercita-cita ingin menjadi tentara. Memang kenapa pak guru tidak baik, Riti? Aku bertanya padanya. Ternyata, ia sangat sering ia datang terlambat ke sekolah. Padahal ia selalu sholat subuh setiap pagi. Tapi, ia tidur lagi setelahnya. Kalau pagi ia harus sarapan, lapar katanya. Sampai akhirnya telat sesampainya di sekolah. Seperti itu dan terus terulang. Hukuman yang ia tidak suka tidak membuatnya kapok dan berhenti. Tapi, ia ingin berubah saat mulai masul di semester ini, resolusinya.

Di suatu kesempatan roadshow di suatu sekolah di Pulau Adonara, mulai kusadar apa yang dimaksud Pak Misbun sebelumnya. Seorang guru di SMA berkata pada kami, yang intinya ia harap kami memaklumi seandainya nanti siswanya banyak tingkah saat kami presentasi. Oke, no problem. Kami tiba di sekolah dan menunggu di ruang guru. Persis di sebelahku duduk bapak kepala sekolah. Saat itu tidak ada jam pelajaran, siswa siswi berkumpul ramai di tengah lapang. Tiba-tiba, seorang siswa memukul siswa di depannya. Siswa yang dipukul balas memukul dan berlari. Baku hantam tidak terelakkan. Teman-teman di sekitarnya buru-buru memisahkan meskipun sulit sekali. Berkali-kali mereka sempat beradu pukul. Tepat saat itu juga, kepala sekolah sedang menyampaikan pengumuman di hadapan lapangan dan ia menyaksikan betul apa yang terjadi. Dengan speaker sekolah, ia memanggil kedua anak tersebut ke ruang guru yang di dalamnya kami sedang menunggu. Keduanya berdiri di hadapan si bapak dengan posisi merunduk. Si bapak mulai memarahinya dan mengeluarkan bahasa daerahnya. Satu ruang guru lengang mennyisakan tegang. Seluruh mata tertuju pada dua anak itu, termasuk kami. Mereka diberi kesempatan masing-masing untuk menjelaskan apa yang terjadi. Waktu habis, gantian yang lain menjelaskan. Sayang sekali, satu anak tidak mendengarkan aturan mainnya. Ia masih bicara padahal si bapak sudah menghentikannya. Si bapak pun langsung bangkit dari tempat duduknya dan mendekat ke arah anak itu, murka, tidak tau sopan. Teriakan si bapak memenuhi langit-langit ruang guru. Tangan kanannya menghempaskan genggamannya tak tertahankan. Menuju ke kepala si anak tadi. Boom, sekali pukul. Dua kali, tak tahu berapa kali lagi ia hantam si anak tadi. Saat itu juga, aku menundukkan kepala tak tega melihatnya, hanya bisa berdiam. Sampai akhirnya seorang guru yang memperhatikan kami, menyuruh kami langsung ke ruang kelas untuk melaksanakan presentasi. Tak perlu larut dengan yang barusan terjadi. 

Di sekolah lain, SMAN 1 Adonara Timur, masih di Pulau Adonara, sekolah memulai aktvitasnya tepat di siang bolong saat matahari gagah di puncak langit membakar kulit. Sebelum memulai pelajaran, seluruh siswa dikumpulkan di tengah lapangan. Seorang guru menyampaikan petuah-petuah dan nasihat tentang pendidikan, sekolah mereka, tata tertib, dan kedisiplinan. Kurang lebih 20 menit mereka berdiri di tengah lapang sambil khusyuk mendengarkan. Pak kepala sekolah menyebutknya apel. Apel ini dilakukan tak hanya di hari senin, tapi setiap hari. Setiap hari anak-anak harus diingatkan tentang disiplin.

Pak Misbun pernah bercerita kepada kami tentang pendidikan di daerah timur sini. Dia bilang jangan bandingkan cara guru mengajar di sini dengan di Jawa sana, sebab sangat berbeda. Anak sekolah di sini memang harus dididik dengan sedikit keras, jika tidak seperti itu tidak akan bisa. Karena memang sifat anak-anak di sini sudah dari sananya keras sehingga saat mendidik pun jika tidak dikeraskan tidak akan masuk, katanya. Sebagai gambaran, beliau menceritakan pernah ada seorang guru yang berasal dari suku jawa dan mengajar di sekolah. Anak-anak pun paham betul kalau si bapak bukanlah orang local seperti mereka. Dari cara bicara, cara mengajar, semuanya berbeda dengan biasanya. Akhirnya, siswa di kelas tidak ada yang memperhatikan pelajaran, malah buat kesibukan sendiri, bermain, tak peduli sama sekali dengan penyampaian si bapak. Orang jawa pada umumnya jika dibandingkan dengan orang di sini pada umumnya suaranya pelan dan cara bicaranya juga ramah dan lembut. Ternyata mereka tidak cocok dengan cara mengajar seperti itu. 

Penasaran aku, iseng bertanya pada Pak Misbun mengapa hal itu bisa terjadi. Anak-anak secara turun temurun akan cenderung bersifat keras. Katanya ya karna gen, bawaan orangtua, mewarisi sifatnya. Dia menambahkan, dari cara bicara saja orang sini jauh lebih keras bahkan kalau orang yang pertama kali melihat mungkin menyangka kalau mereka sedang bertengkar dengan nada bicara yang tinggi. Tidak, sejak kecil kami sudah makan jagung titi (makanan khas di sini). Betapa kerasnya jagung titi dikunyah. Apa yang dimakan itulah yang membentuk. Itulah sebab mengapa kami berbeda dengan orang di jawa yang biasa makan beras, kata Pak Misbun dan temannya sambil tertawa.

Comments

Popular Posts