Timur#6 - Kebahagiaan kecil di Pesisir
Setelah mengunjungi sekolah-sekolah di Larantuka, tanpa
jeda, tanpa istirahat, kami langsung menuju pelabuhan Larantuka. Ternyata
jadwal kapal kami lebih cepat dari yang direncanakan sebelumnya, bahkan kami
harus mempercepat durasi presentasi di sekolah. Bergegas, cepat, berlari,
sekitar lima menit kami duduk, kapal ini langsung melepaskan tambatannya di
pelabuhan dan berlayar.
Tujuan kami berikutnya adalah Pulau Adonara, 2 jam
perjalanan harus ditempuh dengan kapal motor dari Larantuka. Ternyata begini
rasanya tinggal di daerah kepulauan, transportasi yang menghubungkan antarpulau
tidak seperti angkot atau kereta api yang selalu ada setiap waktu dan setiap
hari. Kalau tertinggal kapal, entah kapan ada jadwal kapal berikutnya, entah
malamnya, besoknya, atau beberapa hari setelahnya. Setiap orang yang ingin ke pulau sebrang harus menyesuaikan jadwal
kapal. Seperti yang kami lakukan saat membuat rencana operasional perjalanan,
bahkan satu pulau tak jadi kami kunjungi akibat jadwal kapal yang tak
memungkinkan, Pulau Wetar –sangat disayangkan, ingin sekali menyaksikan
langsung kondisi pulau yang tidak bisa diidentifikasi akses jalan rayanya di
google maps ini.
![]() |
Apa yang tampak dari halaman rumah |
Sepanjang perjalanan, di sebelah kapal nampak barisan bukit
di pulau yang amat panjang, dari kapal hanya tampak pepohonan layaknya hutan. Itu
adalah Pulau Solor, masih satu kabupaten dengan Larantuka, Flores Timur.
Sesekali terlihat kumpulan rumah di suatu daerah kecil, lebih banyak lagi
hijau-hijau pepohonan di bagian berikutnya. Begitulah, manusia sebagai makhluk
sosial memang saling membutuhkan satu sama lain. Kalimat itu amat terasa di
sini. Dalam suatu wilayah daratan pulau kecil yang luas dan dibatasi lautan
dengan pulau yang lain, orang-orang berkumpul di satu titik untuk membangun
kehidupan bersama-sama, tidak berpencar satu sama lain. Ada yang berkumpul di
pesisir pantai, ada juga di bagian atas
pulau mendekati gunung. Orang-orang di pesisir mengadu nasib di lautan luas
berharap tangkapan ikan didapat dari lautan Indonesia yang amat kaya. Sedangkan
orang-orang di pegunungan mengadu nasib di sawah ladang menanam apa-apa yang
bisa dimakan atau dijadikan komoditas andalan di sepetak tanah yang amat subur.
![]() |
Perjalanan ke SMAN 1 Adonara Barat. Bapaknya capek, akhirnya mau gantian :D |
Kami tiba di Pelabuhan Waiwerang, Pulau Adonara. Pelabuhan
mulai sesak dipenuhi penumpang yang akan naik, turun, kuli angkut, dan ojek
yang selalu menawarkan siapapun yang lewat di depannya. Pak Misbun sudah
menunggu sejak tadi dengan temannya dan dua ojek lainnya. Pak Misbun hanya
memiliki sebuah motor sehingga butuh bantuan tiga armada lainnya. Rumahnya
cukup dekat dari pelabuhan. Ternyata kami tinggal di rumah mertuanya, sebab
rumah Pak Misbun masih harus naik ke atas lagi. Ingin yang terbaik untuk
tamunya supaya tak repot kalau kemana-mana, kami tinggal di rumah mertuanya
persis di sebelah jalan raya dan langsung menghadap lautan yang dihiasi
kapal-kapal nelayan.
Perkenalan, ini dua di antara banyak anak-anak yang menemani
kami selama di rumah ini. Mereka adalah Amiril (kiri) dan Riti (kanan).
Keduanya adalah siswa sekolah dasar, meskipun sikapnya saat menjamu dan caranya
berbicara seperti bukan anak seumurannya.
![]() |
Kapan ketemu lagi ya |
Saat kami membaringkan tubuh di satu kamar yang disediakan,
ternyata Amiril sudah sibuk di dapur bersama teman-temannya, ngapain dia? Kulihat saat ingin berwudhu
di kamar mandi dekat dapur. Selesai wudhu, ia langsung menyiapkan sajadah untuk
kami sholat. Setelah sholat, Amiril membawakan keseruannya di dapur tadi,
ternyata dia masak mie, setelah sebelumya dia membawakan minuman dingin. Kau pintar sekali, Amiril!
![]() |
Malemnya minyaknya tumpah di kamar |
Seperti di Larantuka, saat menjelang malam, lagi-lagi
listrik padam. Saat itu lah aku mulai mengenal Riti, lucu sekali dia dengan
baju koko dan sarungnya malam itu, mau sholat katanya. Isya sudah hampir tiba,
tapi katanya dia masih belum sholat juga. Katanya dia mau sholat bareng Kak
Aul. Sebelumnya, dia yang mengantarku ke tempat wudhu dan kuajak sekalian
berwudhu.
“Aku tidak bisa wudhu, Kakak.” Kata Riti dengan logat khas
dan suara beratnya yang seperti orang dewasa.
Oalah, ternyata belum bisa wudhu, terus kalo sholat biasanya
Riti gimana. Tak mengapa, dia mau belajar dan pandai.
“Sini kakak ajarin ya.” Aku mulai menuangkan air di dalam
gayung secara perlahan sesuai dengan instrusiku, “Cuci telapak tangan tiga
kali.” Jangan lupa cara wudhunya ya, Riti! :D
Riti menemani kami di kamar sepanjang listrik padam. Aku yang
menyuruhnya tak boleh keluar kamar. Aku mulai bertanya satu dua pertanyaan yang
darinya kebahagiaan hadir lagi dalam diriku spontan dan dari situ kutau kalau
Riti anak yang cerdas. Katanya Riti ingin jadi tentara, ia sangat menyukai
sekolah karena bertemu teman-teman. Meskipun katanya guru di sekolahnya jahat,
suka menghukumnya. Emang kenapa kamu suka
dihukum, Riti? Ternyata Riti sering datang terlambat ke sekolah meskipun
subuhnya dia bangun dan sholat. Kok bisa
telat? “Habis sholat tidur lagi, aku kan juga sarapan dulu, Kakak.” Iyadeh, Riti, Ok. Obrolan terus
berlanjut, aku terus melemparkan pertanyaan padanya dan memintanya pendapat,
anak ini sangat menarik.
Pak Misbun adalah seorang guru MTs di desanya. Ia sangat
sederhana. Anaknya baru satu dan masih kecil, masih bayi. Motornya juga baru
satu, motor bodong, sebab tak ada surat-surat. Aku awalnya bingung kenapa plat
nomornya bisa W. Tak apa, berhubung ada yang jual murah, katanya. Pak Misbun dulu
berkuliah di Universitas Muhammadiyah, Kupang. Sampai akhirnya sekarang menjadi
guru, meskipun guru honorer. Aku baru tau berapa bayaran yang didapatnya tiap
bulan dari hasil mengajar dan cukup terkejut. Dengan semua keterbatasannya, ia
masih mau membantu kami. Pak Misbun sangat ikhlas membantu, ia memberikan yang
terbaik dari yang ia mampu dan usahakan. Aku ingat sekali saat sedang jalan di
pasar. Tak sengaja aku bertanya tentang ikan di sini. Tiba-tiba ia langsung
berhenti, melihat sekitar, dan berhenti di depan tukang ikan. Aku tak bermaksud meminta ikan pak… “Tidak
usah pak, kami makan yang ada di rumah saja, makan sayur atau apa yang ada.”
Tidak mengapa katanya, beberapa ikan tongkol dimasukkan ke dalam kantong plastik.
Terharu.
![]() |
Sepanjang jalan ke ujung pulau |
Aku bingung dengan orang-orang yang menyempatkan membantu
orang lain di tengah keterbatasan hidupnya, orang asing bahkan. Kami hanya bisa
mengingat kebaikan-kebaikannya dan mendoakannya. Bahkan beberapa hari
setelahnya, kami kembali dibantu dan ditemani mengelilingin Pulau Adonara. Dari
ujung timur, ke ujung barat Pulau Adonara dengan sebuah mobil bak…
Jazakallahu khayr, Pak atas seluruh bantuan dan kehangatan
sambutannya. Kami pasti sangat merepotkan. Allah pasti balas kebaikan hamba-Nya
yang menolong saudaranya. Senang sekali bisa bertemu :)
*di sana lg ada pembangunan tempat mengaji
![]() |
![]() |
Ga sempet sarapan sebelum roadshow, akhirnya ngantongin pisang goreng. Akhirnya gak kemakan juga dan baru inget waktu ninggalin pulau |
Comments
Post a Comment