Timur#3 - Menginjak NTT

Ga pernah bosen liat pemandangan ini

Tak terik, tak menyengat, tapi cukup terasa panas dan menyilaukan pandangan. Kharits melepaskan jaketnya. Aku menatap ke depan sambil menyeritkan dahi. Sinar matahari menembus lapisan pelat logam atap kapal. Aku dan Kharits sedang berada di deck 7, deck paling atas KM Umsini. Memandangi ombak lautan yang berkolaborasi dengan tegaknya pulau yang isinya gunung tinggi yang menjulang. Apakah pulau itu berpenghuni? Entahlah. Rasanya sayang sekali jika hanya terbaring di kasur deck 4 tadi.

Tiba, Bandara Internasional El Tari, Kupang. Sambil menunggu kenalannya Aul, kami menunggu carrier kami keluar satu persatu dari bagasi pesawat. Aul bilang, Pak Tony (yang baru kutau namanya saat ingin pamitan) sudah sampai di depan. Senyumannya dan senyum anaknya, Najmi, yang berjilbab hijau, cukup membuatku senang dan penasaran. Sepanjang perjalanan, Pak Tony benar-benar berhasil membuat first impression yang baik dan ramah, dan memang seperti itu! Kami tak langsung dibawa ke rumahnya. Kami dibawa ke pinggir pantai dan membeli ikan.

Pantai pertama banget yang didatengin

Ikannya besar, ikan gargaheng. Panjangnya sepanjang lengan orang dewasa namun sangat gemuk dan segar. Harganya 100 ribu dan 15 ribu dengan ongkos dibakar.

Ikan segar!

Kata Pak Tony, sambil menunggu ikan matang, silahkan melihat pantai. Itu pantai pertama yang kami kunjungi di sini. Airnya surut, banyak rumput laut tanpa air laut yang tampak seperti rumput di lapangan sepakbola, batu karang, dan batu-batu yang lainnya. Selama di pantai, setiap ada batu yang baru, Aul selalu bertanya pada Kharits, “Kak, ini batu apa?” Untung Kharits ahlinya menghapal batu-batuan. Saat itu juga, Pak Misbun, tempat tinggal kami nanti di Pulau Adonara, menghubungiku dengan videocall.

Mobil kembali melaju dan kami tiba di rumah Pak Tony. Letaknya di ujung jalan dataran tinggi menghadap ke jembatan kota, hutan, dan lautan. Seolah semua hal terangkum dalam satu waktu dari atas rumahnya. Belum lagi Oji yang menerbangkan drone nya dari atas sini. Di atas, terdapat ayunan kayu yang menghadap ke pemandangan tadi.

Tempat favorit di rumahnya Om Tony

Jumat, 3 Januari 2020, ternyata sudah menjelang sholat Jum’at. Setelah rapih sambil menunggu yang lain. Kududuk di ayunan, menatap pemandangan, dan mendengarkan indahnya lantunan ayat al-quran dari speaker masjid yang tadinya kukira tidak mungkin terjadi di tempat ini.

Rumahnya Om Tony

Masjid di sini memang tak sebanyak masjid di Pulau Jawa. Bagian dalamnya seperti bangunan lama dari masjid islamic center Bekasi. Rencananya masjid ini akan di perluas ke bagian timur dan ditunggu sampai bulan Maret oleh pihak pemilik tanah. Sampai saat ini, masih kurang 300 juta untuk pelunasan. Pak Tony menceritakan banyak sekali hal tentang keislaman di sini, toleransi, rumah ibadah, anak sekolah, makanan di sepanjang jalan, kampanye, dan yang lainnya. Mayoritas penduduk di sini beragama Katolik.

Aku tak pernah menyangka, di sini, setiap waktu sholat kami selalu di antar ke masjid meskipun bolak-balik naik mobil 10 menit sekali jalan. Istrinya berkerundung panjang, begitupun anak-anaknya, Nobel dan Najmi. Satu lagi, Feye, masih sangat kecil dan lucu, meskipun aku belum berhasil membuatnya menatapku sebentar. Setiap aku datang, ia langsung menundukkan kepalanya, mengencangkan pegangan, ke apapun yang ada di dekatnya. Kak Nobel kelas 2 SMP, sejak lulus SD langsung sekolah di Pesantren Ibnu Abbas, Klaten.

Yang cowo tidur di atas, Aul tidur bareng Najmi. Pengen banget punya rumah kayak gini nanti...

Keluarga ini sangat damai dan indah. Atmosfir keluarga sakinah, mawaddah, warahmah benar-benar terasa. Aku sempat melihat Pak Tony dan sang istri berpelukan, istrinya mendekat dan menciumnya, Kak Nobel dan Najmi yang sangat patuh jika diminta tolong ayahnya, sepanjang hari hanya nasyid gontor dan ayat al-quran yang diputar di televisi ruang keluarganya yang suaranya memenuhi setiap sudut rumah. Aku bisa merasakan betapa damai tenang, dan bahagianya seorang Pak Tony.
Di dinding rumahnya, nampak foto pernikahannya. Istrinya nampak belum berjilbab. Sangat berbeda dengan yang sekarang. Aku semakin kagum.

Pesannya pada kami, jangan pernah abaikan solat. Begitu adzan terdengar, tinggalkan yang lain. Yang lain itu nomor sekian. Dan pesan lainnya tentang memilih pasangan dan mendidik anaknya. Ia benar-benar menjaga dan mendidik anaknya dengan memilihkan pilihan terbaik menurutnya meskipun perasaan cintanya harus dikorbankan dengan rindu.

Feye takut kalo deket-deket sama om

Terimakasih atas tumpangan, makan, senyuman, pelajaran, kendaraan, ikan, pemandangan, ayunan, dan kehangatan rumahnya, Om!

Apa yang bisa dilihat sambil duduk di ayunan, pas ada pelangi :)

Comments

Popular Posts