Timur#5 - Rumah Kak Ida

KM Umsini, kapal pertama dari banyak kapal berikutnya


Raungan klakson kapal sudah terdengar. Kapal akan segera berangkat. Perjalanan laut 15 jam dari Pelabuhan Tenau di Kupang ke Pelabuhan Larantuka di Flores Timur. Kapal pertama kali yang kunaiki, KM Umsini, kapal Pelni. Di dalamnya berjejer kasur-kasur dan terdapat beberapa tingkatan deck. Mushola berada di deck paling atas.

Bukan nomor kursi, kasur!

Dalam perjalanan malam, kami istirahat dan berencana bangun sedikit cepat karena ingin melihat langit malam. Terbangun dan hampir masuk waktu subuh. Saat itu Kharits masih demam dan Oji masih sangat lelah. Aul yang bangun ikut bersamaku menuju deck paling atas. Anginnya sangat kencang di atas. Ternyata, hanya hitam legam langit dan lautan tanpa ada sedikit cahaya bintang di langit malam, tak ada cahaya lampu sekecil apapun dari pulau sekitar, pulau pun tak terlihat, kami benar-benar di tengah lautan!

Kapal yang jemput mendekat ke kapal yang lebih besar

Sebelum tiba di Pelabuhan Larantuka, kapal terlebih dulu ke Pelabuhan Lewoleba, Lembata. Kapal tidak bisa bersandar. Ternyata ada bangkai kapal angkutan semen yang tenggelam persis di pelabuhan. Kapal pelni hanya bisa berhenti di sekitar pelabuhan dan ada kapal kecil yang menjemput penumpang yang akan turun.

Oji, sebagai penanggung jawab di daratan Flores, mengabarkan kalau Kak Ida sudah sampai. Kami tiba di rumah Kak Ida. Tak disangka sama sekali, kami bisa masuk ke tempat yang bisa dibilang pelosok, jauh dari kota, di NTT. Mayoritas masyarakat di sini beragam Kristen, hanya ada 2 KK yang muslim.

Desa yang cukup jauh dari pusat kota

Di sini, untuk pertama kalinya aku melihat babi secara langsung, ternyata babinya seperti di tv, suka main lumpur dan warnanya beneran pink, suaranya juga beneran kayak gitu (foto babinya belum ketemu). 
Di sini, sehari semalam, sama sekali tidak terdengar adzan kecuali dari aplikasi di handphone. Berhubung kami musafir dan sama sekali tak ada masjid di sini, sholat selalu di jamak, subuh, dzhuhur-ashar, dan maghrib-isya. 
Di sini, untuk pertama kalinya aku sholat di rumah non-muslim. Aku masih ingat Kak Ida yang selalu bingung ingin menyiapkan yang terbaik jikalau kami ingin minta sedikit air untuk berwudhu. Ia selalu mengambilkan air di sebuah wadah. Padahal, air di sini sangat sulit, pompa air mati. Warga di sini mendapatkan air dengan membeli ke mobil tangki keliling. Jadi, di sini kami benar-benar harus hemat air karena prihatin dengan kondisi. 
Selain itu, di sini, karena keterbatasan air, untuk pertama kalinya aku mandi dengan air hujan yang ditampung di bak di bawah atap seng yang untungnya tak berkarat. Ada 3 ember yang selalu setia menunggu dan menampung air hujan, tak peduli berapa lama hujan itu datang, tak peduli jika ia datang dengan segala kekurangannya, tak sesuai ekspekasinya, ia siap menerima air hujan apa adanya… ah romantis sekali ember ini. 
Selain itu, ada hal konyol lain yang menimpaku yang lebih baik tidak kuceritakan tapi kutuliskan supaya suatu saat nanti aku baca tulisan ini aku ingat maksudnya ditulis :D



Style ku jalan-jalan keliling desa

Kak Ida adalah seorang pengembang desa, ia bekerja di bawah kementerian desa meskipun kontrak kerjanya habis per Januari 2020 ini. Yang lalu-lalu, ia sering di tempatkan di beberapa desa di sekitar Flores Timur untuk melakukan sebuah hal yang bisa dikembangkan dari potensi suatu desa. Kak Ida sangat senang bercerita, berbeda denganku yang lebih suka mendengarkan. Meskipun seorang non-muslim, Kak Ida sangat menghormati dan memahami kami. Sangat ramah orangnya, pasti lembut hatinya. Ternyata ia adalah simpatisan NU. Bahkan NSP nya adalah mars NU. Ia bilang sudah beberapa kali mempelajari Islam. Ia sangat mengidolakan Gus Dur karena toleransi yang diajarkannya. Keyakinannya akan adanya tuhan tidak diragukan, ia sangat yakin atas kehendak tuhan atas hidup seseorang, takdir, dan banyak hal lainnya. Aku berkaca pada diriku, malu, yang hanya sesekali ingat kepada-Mu ya Tuhan. Aku mendoakan yang terbaik untukmu Kak Ida, semoga kita ditunjukkan ke jalan yang lurus aamiin




Setelah berbincang, barulah kami tau kalau kami ternyata tinggal di rumah adat. Rumah Kak Ida adalah rumah adat. Dari segi bangunan memang tidak terlihat berbeda dengan rumah lainnya, kata Kak Ida sebenarnya berbeda, hanya saja bangunan lama rumah ini hancur akibat gelombang tsunami pada tahun 1992. Jadi setiap ada walikota atau gubernur yang berkunjung ke desa ini, pasti mampir ke rumah ini. Orang paling tua di sini di sebut Bapak Tua, sebutan untuk seorang anak kepada bapaknya. Setiap makan, Bapak Tua selalu menemani kami. Ia juga senang bercerita, ingatannya masih kuat. Bapak Tua juga hebat bermain gitar dan sempat malu-malu saat Aul mendekat dan minta dimainkan sebuah lagu meskipun akhirnya mau juga.

Bapak Tua bermain gitar di depan Aul


Seorang anak wanita di sini diusahakan mampu menenun kain. Bahkan, masing-masing keluarga mewariskan motif tertentu. Beda keluarga beda motif. Untuk menjaga motif tetap lestari, anak perempuan diupayakan untuk bisa menenun. Meskipun Kak Ida tak bisa menenun, katanya sulit sekali. “Minum” sudah menjadi hal yang lumrah di sini. Kapan pun mau, tinggal “minum.” Tapi yang terlihat seperti itu hanya beberapa anak muda lelaki saja. Kami pun beberapa kali ditawarkan untuk “minum” dan kami pun minum (“minum berbeda dengan minum). 

Gedung SD di sini, kaget waktu liat kursi di kelasnya bener-bener sedikit

Kami juga sempat berkeliling desa. Ke tempat kepala desa untuk izin sementara tinggal di sini dan izin mau mengajak anak-anak muda ke rumahnya untuk ikut sosialisasi tentang perguruan tinggi dengan kami. Bahkan, kami sempat ke tukang urut di sini. Tukang urut lokal! Kharits yang dari malam keberangkatan sakit ternyata masih belum membaik. Akhirnya Kak Ida mengajaknya untuk diurut. Entah mengapa tak diajak ke dokter, tapi dimana ada dokter di tempat ini? Tapi katanya supaya lebih sehat, coba diurut. 


Sebenernya mau nyobain gimana rasanya...

Minyaknya dari minyak kelapa dan campuran lainnya. Mungkin sebentar lagi Kharits akan bercerita dan berbagi testimoni bagaimana rasanya diurut langsung di Desa Lewoingu, Titihena, Flores Timur. Payah lah dia, belum apa-apa udah sakit aja. Tapi hebatnya, ia sudah sehat dan pulih di pagi hari tepat sebelum kami akan memulai roadshow ke sekolah pertama. Doa lu kuat juga ya, Rits.

Sharing sebentar bareng Kak Ida, Ryan, dan Noril

Sebelumnya Kak Ida berusaha untuk menghubungi anak-anak muda di sini untuk datang ke rumahnya supaya ikut sosilaisasi dari kami. Ia sudah di bantu oleh Rian yang ingin kuliah juga dan masih saudara dengan Kak Ida. Namun, aku sedih sore ini. Tak ada satupun anak yang datang, kecuali temennya Rian, Noril. Aku tak tau bagaimana perasaan Kak Ida. Bukan karena tak jadi sosialisasi, tapi karena Kak Ida pasti sangat kecewa karena tak ada yang datang selain Rian dan Noril. Namun, ia tetap seperti biasa, selalu ramah dan ceria. Ia berharap Rian bisa berkuliah di Bandung, seperti keinginan ayahnya Rian, tak seperti Kak Ida yang tak berkuliah. Entah mengapa, kalau kata Kak Ida mungkin karena mereka malu dengan kami. Malu bertemu dan mengadakan kegiatan tadi karena mereka tak biasa sekedar berkumpul dan berdiskusi apalagi terkait kuliah. Yang mereka bicarakan yang sepuataran cinta remaja mereka, kurang lebih kata Kak Ida.

Masih banyak keluarga Kak Ida di dalem yang ga ikut foto, sangat berkesan, gak nyangka bisa sampe sejauh ini di Larantuka :)

Sangat senang bertemu dengan orang seperti Kak Ida. Perempuan tangguh (beneran tangguh), yang ramah banget, suka menolong tanpa mengharap imbalan, peduli sama lingkungannya, sadar banget sama pentingnya pendidikan, cinta banget sama orangtuanya, yang yakin banget dengan kuasa Tuhan, padahal sehari-harinya sangat sederhana atas segala keterbatasan. Makasih banyak Kak Ida atas segala pelajaran yang kakak berikan!

Jalan utama penghubung barat dan timur flores

Desa Lewoingu, Kecamatan Titihena, Kabupaten Flores Timur

Comments

Popular Posts