Timur#4 - di Ujung Larantuka
Tugu sebelum masuk ke desa, ada yang tau artinya? |
Mati listrik seharian, sejak kami tiba hingga pagi ini. Malam tadi, aku selalu terbangun mendengar suara dentingan air hujan yang mengenai atap seng di atas kamar kami dan gemuruh angina kencang di luar sana. Sangat mengerikan, aku membayangkan yang aneh-aneh. Gelap, lilin mati satu per satu, angin semakin kencang, hujan semakin deras. Jika aku memejamkan mata, rasanya atap rumah ini seperti sudah terangkat terbawa angin atau ada pohon besar yang sudah menimpanya. Di bagian kota yang lain, sepertinya ada masalah dengan gardu listrik yang menyebabkan Larantuka mati lampu total dan tak da jaringan telepon sama sekali meskipun telkomsel sekalipun. Suara hujan, hembusan angin, dan hembusan napas babi mewarnanai pagi ini. Ternyata persis di sebelah kamar kami ada kandang babi.
Kereta bagian dalam semakin dingin ketika gelap menyelimuti dinding luarnya. Terlebih posisi tempat duduk kami yang berada persisi di bawahnya. Tiba-tiba, Oji membuka web pelni untuk mengecek jadwal kapal kami untuk menyebrang ke Larantuka dari Pelabuhan Tenau di Kupang. “Tiket habis, tidak tersedia.” Habis?? Bagaimana bisa? Dengan harap-harap cemas, semoga tidak seperti tiket keretta, yang kalau di online habis ya sudah pasti habis mau dicari kemanapun. Akhirnya kami menuju ke salah satu agen penjualan tiket di Kupang setelah sholat jum’at dan makan siang bersama Pak Tony.
(Obrolan Aul dengan penjual tiket)
“Ke Larantuka malam ini ada, Om”
“Ada, jam 9”
“Berapa, Om?”
“170, mau bereapa?”
“Empat.. Jadinya berapa?”
“Itu lihat, kali aja sendiri”
Bicaranya khas orang sini dengan nada tinggi sambil serius entah bercanda atau bagaimana.
“Namanya.”
“Aulia Resky”
“AWLIA RES…?”
“AULIA ER-E-ES-KA-YE”
“Fauzi Amallul”
“FAWZI AMALO?”
“FAUZI AMALLUL”
“AMALUL”
“A-EM-A-EL-EL-U=EL”
“Oh, double L”
Semua orang yang berada di sekitar kami mulai tertawa melihat sulitnya mengetik nama-nama kami untuk mencetak lembaran-lembaran tiket.
“Indirwan Arya” Aku malas menyebutkan Purnama, dia bisa dua kata saja sudah tak apa.
“Hah?”
“INDIRWAN, I-EN-DE-I-ER-WE-A-EN ARYA”
“Indirwan Aria!”
“Kharits Jati”
“Haris?”
“KA-HA-A-ER-I-TE-ES JATI”
“OH, TS”
![]() |
"A R I A" |
Orang di sekitar kami semakin asik mentertawakan kami dan penjual tiket yang Nampak kesulitan sekaligus terhibur. Alhamdulillah, lagi-lagi kami harus bersyukur. Gak lucu kalau kami gak jadi nyebrang dan nunggu beberapa hari di Kupang karena kehabisan tiket kapal.
Orang-orang di sekitar sini memiliki nada bicara yang sangat tinggi ketika di jalan raya, saat macet, ada mobil yang menghalangi. “WOI SABAR” Mendengar nada bicaranya saja nampaknya ia juga tak sabar. “CEPAT LAH, JANGAN HALANGI JALAN, PINGGIR” Aku awalnya merasa kaget dan shock, tapi lama-lama mulai banyak menyaksikan dan semakin biasa walaupun tetap takut. Aku khawatir kalau-kalau mereka akan mudah sekali berkelahi dan saling pukul satu sama lain. Entah mengapa aku membayangkan itu. Bahaya sekali jika ada adu domba. Rasanya sangat penting memahamkan banyak orang tentang persatuan. Tapi itu tadi, aku sangat khawatir jika di kondisi seperti ini ada yang memanfaatkannya untuk memecah belah bangsa.
Setelah berjalannya waktu, perlahan aku melihat beberapa hal. Ternyata, mereka sangat ramah dan saling menolong satu sama lain ketika ada yang mengalami masalah sekalipun tak dikenalnnya. Menolongnya bukan menolong biasa, jika dilihat, mereka sangat solid dan kompak, meskipun tetap dalam kebiasaaan nada bicara di sini. Aku menyaksikannya saat angkot yang kami naiki dari Pelabuhan Larantuka yang membawa kami dan Kak Ida ke desanya, tiba-tiba ban belakangnya jeblos ke saluran air yang tak terlihat akibat genangan air yang tinggi. Semua orang di jalan bersama-sama membantu. Mengatur mobil di sekitarnya dan bersama mendorong mobil dari belakang, padahal saat itu hujan deras. Kalau ada yang bilang Jakarta keras, nampaknya masih tidak seberapa dengan bagian Flores Timur yang sudah kulewati tadi. Kami dilakukan pemerasan saat di pelabuhan dan saat angkot kami berhenti di pinggir jalan menuju ke desa. Alhamdulillahnya, kami bersama Kak Ida. Meskipun sebenarnya tak perlu takut dengan hal biasa seperti itu. Aku masih harus beradaptasi dengan kondisi dan kebiasaan di sini.
Semua mobil disebut “Otto” dan supirnya dipanggil Pedro — sepertinya Pedro bukan nama supirnya. Si Pedro tapi agak sedikit aneh bagiku. Padahal kondisi angkot sudah penuh sesak, tapi dia masih terus keliling, berputar, terus berhenti untuk mencari penumpang. Akhirnya, semakin sesak kami di dalam otto ini, sebagian ada yang memangku yang lain. Oji harus menundukkan kepada sepanjang jalan karena tempat duduknya terlalu tinggi. Tiga jam kami di perjalanan! Jauh memang tempat tinggal kami dari pusat kota tadi. Tapi tidak sejauh tiga jam perjalanan seharusnya jika bukan Pedro supirnya meskipun ia membawa angkot tidak lambat. Kami tiba di Rumah Kak Ida, di Desa Lewoingu, Kecamatan Titihena, Flores Timur.
Ternyata di sepanjang jalan tadi kami sudah dikenalkan dengan cuaca ekstrim yang sedang terjadi di sini, hujan badai dan angin kencang. Tak butuh waktu lama, sore harinya seluruh desa mati listrik, bahkan Kak Ida bilang seluruh pusat kota juga mati listrik. Tak ada lampu, tak ada sinyal sama sekali kecuali sesekali. Kami menghilang dari peradaban online. Oji tak bisa mengabarkan kondisi terkini tim dengan penyelenggara di Bandung yang seharusnya dilaporkan setiap pagi dan malam. Setiap pesan dikirim, di akhir harus ditambahkan “dikirim pukul…. Wita.” Sambil menunggu pesan itu benar-benar terkirim.
Suasana desa |
Suasana malam kadang menjadi menakutkan. Hanya ada cahaya lilin di meja makan yang harus dilindungi dari tiupan angin yang masuk dari jendela. Cahaya lilin itu yang membuat obrolan kami dengan yang lain tetap ada. Kharits yang kondisinya sakit seharian, hanya bisa beristirahat di kamar sepanjang malam. Selain Kharits, semuanya berkumpul di ruang utama untuk saling bercerita. Sesekali terdengar suara Kharits yang mengigau dalam tidurnya dan berkata “Ha” setiap beberapa waktu sekali sampai kami sudah terbiasa mendengarnya. Sampai malam semakin larut dan ada yang aneh. Suara mengigau Kharits berubah menjadi suara babi. Sampai aku berharap salah mendengar tapi ternyata bukan aku saja yang mendengarnya. Aku dan Aul saling tatap dan berpikir hal menakutkan yang sama. Aku segera mengecek kamar Kharits. Kharits masih sama, tak ada bedanya, masih sama. Kami khawatir ada suatu hukum adat yang dilanggar atau apa sehingga beberapa kami terkena akibatnya. Ternyata tak masalah dengan Kharits. Setelah ditanyakan, ternyata Kak Ida memelihara babi dan letak kandang babi nya persis di sebelah kamar yang ditempati Kharits. Malam semakin larut, lilin semakin pendek, gelap semakin hitam, Aul kembali ke rumah saudara Kak Ida dan tinggal di sana, Kak Elen. Sebelum beristirahat, aku dan Oji teringat kalau belum melaksanakan sholat. Kami sholat di kamar Kharits dengan bacaan lirih karena berjamaah mahrib dan isya di jamak. Ternyata suaranya terdengar ke luar kamar. Kak Ida bilang siapa yang tadi malam berdoa suaranya indah sekali.
![]() |
Makan malam bersama Bapak Tua |
Mati listrik seharian, sejak kami tiba hingga pagi ini. Malam tadi, aku selalu terbangun mendengar suara dentingan air hujan yang mengenai atap seng di atas kamar kami dan gemuruh angina kencang di luar sana. Sangat mengerikan, aku membayangkan yang aneh-aneh. Gelap, lilin mati satu per satu, angin semakin kencang, hujan semakin deras. Jika aku memejamkan mata, rasanya atap rumah ini seperti sudah terangkat terbawa angin atau ada pohon besar yang sudah menimpanya. Dibagian kota yang lain, sepertinya ada masalah dengan gardu listrik yang menyebabkan Larantuka mati lampu total dan tak ada jaringan telepon sama sekali meskipun telkomsel sekalipun. Suara hujan, hembusan angin, dan hembusan napas babi mewarnanai pagi ini. Ternyata persis di sebelah kamar kami ada kandang babi.
![]() |
Jam 00.30an WITA terpaksa keluar rumah buat nyari sinyal, nemenin Oji yang lagi PRS-an. Angin kencang, suara ayam, suasana yg tak terlupakan... |
Comments
Post a Comment